Pada dasarnya, Adat Perkawinan Adat Batak, mengandung nilai
sakral. Dikatakan sakral karena dalam pemahaman perkawinan adat Batak, bermakna
pengorbanan bagi parboru (pihak pengantin perempuan), karena ia “berkorban” memberikan
satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain pihak
paranak (pihak pengantin pria), yang menjadi besarnya nanti, sehingga pihak
pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/ mempersembahkan satu nyawa
juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi
santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/ adat perkawinan itu.
Dalam adat Batak Toba,
upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan.
Upacara ini bersifat khusus dan otonom; diakhiri dengan tata cara yang
menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru,
maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan
diteguhkan dalam upacara perkawinan. Dengan demikian, tata upacara perkawinan
terdiri dari “tata cara penyatuan tetap atau permanen” ke dalam lingkungan
(sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal.
Berdasarkan jenisnya ritus
atau tata-cara yang digunakan, perkawinan adat Bata Toba dibagi menjadi 3
(tiga) tingkatan:
1.
Unjuk:
ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua prosedur adat Batak Dalihan
Na Tolu. Inilah yang disebut sebagai tata upacara
ritus perkawinan biasa (unjuk);
2.
Mangadati:
ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua
atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut
memiliki anak; dan
3.
Pasahat
sulang-sulang ni pahoppu: ritus perkawinan yang dilakukan di
luar adat Batak Dalihan Na Tolu,
sehingga pasangan bersangkutan mangalua dan
ritusnya diadakan setelah memiliki anak.
Tata Cara/Urutan Upacara Perkawinan Adat
Batak:
1. Mangarisik.
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat
wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan
maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang
pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2. Marhori-hori Dinding/marhusip.
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang
dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh
umum.
3. Marhata Sinamot.
Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang pada
kerabat wanita untuk melakukan marhata
sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
4. Pudun Sauta.
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula
mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah
disembelih) yang diterima oleh pihak parboru
dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari:
a. Kerabat marga ibu (hula-hula)
b. Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c. Anggota marga menantu (boru)
d. Pengetuai (orang-orang tua)/pariban, Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita
dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol
dan Pamasu-masuon.
5. Martumpol (baca: martuppol).
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua
belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja.
Tata-cara Partumpolon dilaksanakan
oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja
mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di
HKBP disebut dengan Tingting (baca:
tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut.
Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat
dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).
6. Martonggo Raja atau Maria Raja.
Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat
seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang
bertujuan untuk:
a. Mempersiapkan kepentingan pesta/acara
yang bersifat teknis dan non teknis.
b. Pemberitahuan pada masyarakat bahwa
pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan
dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang
bersamaan.
c. Memohon izin pada masyarakat sekitar
terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah
direncanakan.
7. Manjalo
Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan).
Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja
(pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan
selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah
selesai seluruh acara pamasu-masuon,
kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak
pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk
mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca: parmaen)
8. Pesta
Unjuk.
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan
putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar. Jambar yang
dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar
uang (tuhor ni boru) dibagi menurut
peraturan. Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca: dekke) dan ulos yang
dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang
pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual).
Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang
dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos
yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
10. Ditaruhon Jual.
Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai
pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk
kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini
paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual
upa manaru tidak dikenal.
11. Paranak
makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat
ni si Panganon)
Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah
pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan
yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang dimakan adalah
makanan yang dibawa oleh pihak parboru.
12. Paulak Une.
Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal
bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya
pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara
pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa
gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si
wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung
halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.
13. Manjahe.
Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani
hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka dia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat
tinggal) dan mata pencarian.
14. Maningkir
Tangga (baca: manikkir tangga)
Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah
tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah
dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada
paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini
adalah rumah tangga pengantin baru).
Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan
lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur). Dengan selesainya
kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na
gok.
Sumber:


Komentar
Posting Komentar