Sejarah/Asal-Usul
Suku Batak
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah
terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan
berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah:
1. Batak Toba
2. Batak Karo
3. Batak Pakpak
Kerajaan Batak didirikan oleh seorang Raja
dalam negeri Toba sila-silahi (silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampong
Parsoluhan, suku pohan. Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian yang
bernama Alang Pardoksi (Pardosi). Masa kejayaan kerajaan Batak dipimpin oleh
raja yang bernama Sultan Maharaja Bongsu pada tahun 1054 Hijriyah berhasil
memakmurkan negerinya dengan berbagai kebijakan politiknya.
Topografi dan alam
Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu) untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar
4.000 – 7.000 tahun lalu. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa
orang-orang Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar
2.500 tahun lalu, dan kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini.
Selama abad ke-13,
orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau yang mana hal ini telah menginspirasikan
pengembanganaksara Batak. Pada abad ke-6, pedagang-pedagangTamil asal India mendirikan
kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang
kamper yang diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman. Produksi kamper
dari tanah Batak berkualitas cukup baik, sehingga kamper menjadi komoditi utama
pertanian orang Batak, di samping kemenyan.
Pada abad ke-10,
Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang
Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kamper
mulai banyak dikuasai olehpedagang Minangkabau yang
mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni
mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Terbentuknya
masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan
karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra.
Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua
naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga
Kembaren dari Pagaruyung di
Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat
Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di
pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang
datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Deskripsi Lokasi
Suku bangsa Batak dari Pulau
Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi
Karo, Kangkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan
Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah
Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang
menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah administrative, mereka mendiami
wilayah beberapa Kabupaten atau bagian dari Wilayah Sumatra Utara. Yaitu
Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara dan Asahan.
Aktivitas
Dalam Kehidupan
·
Bahasa
Dalam, kehidupan dan pergaulan
sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa logat, ialah : logat karo (yang
dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh Pakpak), logat
simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh orang
Toba, Angkola dan Mandailing).
·
Pengetahuan
Orang Batak juga mengenal sistem
gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa karo aktifitas itu
disebut Raron, sedangkan dalam Bahasa
Toba hal itu disebut Marsiurupan.
Sekolompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan
masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang
keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada
persetujuan pesertanya.
·
Kekerabatan
Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak
berdiam di daerah pedesaan yang disebut Huta atau Kuta menurut istilah Karo.
Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Ada pula kelompok
kerabat yang disebut marga taneh yaitu kelompok pariteral keturunan pendiri
dari kuta. Marga tersebut terikat oleh symbol-simbol tertentu misalnya nama
marga. Klen kecil tadi merupakan kerabat patrilineal yang masih berdiam dalam
satu kawasan. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar
sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui
nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya,
Stratifikasi
sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu :
1.
perbedaan tingkat
umur,
2.
perbedaan pangkat dan
jabatan,
3.
perbedaan sifat
keaslian dan ,
4.
status kawin.
Berikut
merupakan sistem kekerabatan dari suku Batak.
a.
Kelahiran
Mangirdak : dalam
suku batak apabila seorang putra batak menikah dengan dengan seorang perempuan
baik dari suku yang sama maupun yang beda, ada beberapa aturan atau kebiasaan
yang harus dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang putra batak yang bermarga
Pardede menikah maka sudah merupakan kebiasaan jika orangtua dari istri
disertai rombongan dari kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa
makanan ala kadarnya ketika menjelang kelahiran, hal kunjungan ini disebut
dengan istilah Mangirdak (membangkitkan semangat). Makna spiritualitas yang
terkandung adalah kewibawaan dari seorang anak laki-laki dan menunjukkan
perhatian dari orangtua si perempuan dalam memberikan semangat.
Pemberian
Ulos Tondi : ada
juga kerabat yang datang itu dengan melilitkan selembar ulos yang dinamakan
ulos tondi (ulos yang menguatkan jiwa ke tubuh si putri dan suaminya).
Pemberian ulos ini dilakukan setelah acara makan. Makna spiritualitas yang
terkandung adalah adanya keyakinan bahwa pemberian ulos ini dapat memberikan
ataupun menguatkan jiwa kepada suami istri yang baru saja mempunyai kebahagiaan
dengan adanya kelahiran.
Mengharoani : sesudah
lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya diadakan lagi makan
bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu yang dikenal dengan
istilah mengharoani (menyambut tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya
dengan istilah mamboan aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang
akan memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung adalah
yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak yang baru lahir dan
juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
Martutu Aek : pada
hari ketujuh setelah bayi lahir, bayi tersebut dibawa ke pancur dan dimandikan
dan dalam acara inilah sekaligus pembuatan nama yang dikenal dengan pesta
Martutu Aek yang dipimpin oleh pimpinan agama saat itu yaitu Ulu Punguan. Hal
ini telah ditentukan oleh sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi
waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi
bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya menuju ke suatu mata air dekat
kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang
dengan alaskan kain ulos. Kemudian sibaso menceduk air lalu menuangkannya ke
tubuh si anak, yang terkejut karenanya dan menjerit tiba-tiba. Melalui ritus
ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru
Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh
leluhur untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat
sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe). Upacara
martutu aek biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan,
mebang). Kita tahu pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) terjadi satu kali
seminggu. Onan adalah symbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus symbol
kedamaian. Orangtua si bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli
lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang
dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya. Pada acara marhata sesudah
makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak
pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua
untuk modal kerja . Namun pada saat pemberian nama pada waktu itu, peran dari
sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi sibaso untuk sebuah
nama, jika sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka
orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu. Makna spiritualitas yang
terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana
dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru saniang naga
sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah
terserang penyakit.
Mengallang Esek-esek : keluarga
yang mendapat anak ini akan mempunyai kebahagiaan yang luar biasa dimana untuk
menunjukkan kebahgiaan itu, pihak keluarga akan memotong ayam dan memasak nasi
kemudian memanggil para tetangga sekaligus kerabat walaupun tengah malam
ataupun dini hari untuk diundang makan atau syukuran (hal ini dibantu dengan
tidakan demonstrative ayah si anak dengan membelah kayu pada saat kelahiran
dimana warga kampung akan segera tahu dengan pertanda itu). Kemudian ibu-ibu
sekampung pun segera berdatangan dengan anak-anak mereka, ini juga bagian dari
Mangallang Haroan atau mengharoani (menikmati makanan kedatangan). Kalau
didaerah Silindung disebut mangallang indahan esek-esek. Jamuan ini biasanya
hanya bersifat apa adanya, misalnya jika tidak ada ayam maka sayur labu siam
dan ikan asin pun jadi karena mangharoani ini sebagai ungkapan sukacita yang spontan
dan tulus dari suatu komunitas yang saling mengasihi atas kehidupan baru.
Sementara itu selama tiga malam, para bapak bergadang atau ”melek-lekkan”
sambil berjudi. Ini dilakukan bertjuan untuk menjaga si bayi dan ibunya dari
kemungkinan ancaman kepada si bayi dan ibunya karena setelah melahirkan tubuh
si ibu dan si bayi pastilah masih sangat rentan atau lemah. Makna spiritualitas
yang terkandung adalah sebagai ungkapan sukacita terhadap warga yang sekampung
dengan si anak yang baru lahir itu sehingga warga kampung tahu ada kebahagiaan
dalam suatu keluarga.
b. Perkawinan
Garis
Besar Tata Cara dan Urutan Pernikahan Adat Batak Na Gok adalah
sebagai berikut:
1.
Mangarisika.
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi
ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan
peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong
dan pihak wanita memberi tanda mata).Jenis barang-barang pemberian untuk pernikahan adat batak dapat berupa kain, cincin emas, dan
lain-lain .
2.
Marhori-hori
Dinding/marhusip.
Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan
yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh
umum.
3.
Marhata
Sinamot.
Pihak kerabat mempelai pria (dalam
jumlah yang terbatas) datang kepada kerabatmempelai wanita untuk melakukan marhata
sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).
4.
Pudun
Sauta.
Pihak kerabat pria tanpa hula-hula
mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah
disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan
bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota
kerabat, yang terdiri dari :
a.
Kerabat marga ibu (hula-hula)
b.
Kerabat marga ayah (dongan tubu)
c.
Anggota marga menantu (boru)
d.
Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
Diakhir
kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat
menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.
5.
Martumpol (baca
: martuppol)
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan
adat oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak
mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh
pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon
adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai
melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca :
tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu
berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak
lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).
6.
Martonggo
Raja atau Maria Raja.
Adalah suatu kegiatan pra pernikahan
adat yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh
penyelenggara pernikahan adat yang bertujuan untuk :
a.
Mempersiapkan kepentingan pernikahan
adat yang bersifat teknis dan non teknis
b.
Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada
waktu yang telah ditentukan adapernikahan adat pernikahan dan berkenaan
dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pernikahan adat dalam
waktu yang bersamaan.
c.
Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama
dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah
direncanakan.
7.
Manjalo
Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan).
Pengesahan pernikahan adat kedua
mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja).
Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah
sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara
pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun
yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita
untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta
Mangalap parumaen (baca : parmaen).
8.
Pesta
Unjuk.
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita
atas pernikahan adat putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah
berbagi jambar :
a.
Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat
parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni
boru) dibagi menurut peraturan.
b.
Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat
paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut
peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke
rumah paranak.
9.
Mangihut
di ampang (dialap jual).
Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat
mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi
makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.
10.
Ditaruhon
Jual.
Jika pesta untuk pernikahan itu
dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke
tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat
namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar),
sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.
11.
Paranak
makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon).
Setibanya pengantin wanita beserta rombongan
di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh
undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria. Makanan yang dimakan
adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru.
12.
Paulak
Unea.
Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si
wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria
bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas
berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin
wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan
dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan). Setelah selesai
acara paulak une, paranak kembali ke kampung/rumahnya dan selanjutnya memulai
hidup baru.
13.
Manjahea.
Setelah beberapa lama pengantin pria dan
wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu),
maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.
14.
Maningkir
Tangga (baca : manikkir tangga).
Beberapa lama setelah pengantin pria dan
wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata
pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah
berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud
dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini
parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke
simundur-mundur). Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka
selesailah rangkaian pernikahan adat na gok.
c.
Kematian
Ada banyak jenis kematian pada adat suku
Batak, diantaranya adalah : Sari Matua,
Saur Matua, Mauli Bulung. Jenis kematian lain seperti “Martilaha” (anak
yang belum berumah tangga meninggal dunia), “Mate Mangkar” (yang meninggal
suami atau isteri, tetapi belum berketurunan), “Matipul Ulu” (suami atau isteri
meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil), “Matompas Tataring”
(isteri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil).
1.
Sari Matua adalah
seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik
dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada di antara
anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).Mengacu kepada defenisi diatas, seseorang
tidak bisa dinobatkan (dialihkan statusnya dari Sari Matua ke Saur Matua. Namun
dalam prakteknya, ketika hasuhuton “marpangidoan” (bermohon) kepada dongan
sahuta, tulang, hula-hula dan semua yang berhadir pada acara ria raja atau
pangarapotan, agar yang meninggal Sari Matua itu ditolopi (disetujui) menjadi
Saur Matua.
Ulos tujung, adalah
ulos yang ditujungkan (ditaruh diatas kepala) kepada mereka yang menghabaluhon
(suami atau isteri yang ditinggalkan almarhum). Jika yang meninggal adalah
suami, maka penerima tujung adalah isteri yang diberikan hula-hulanya.
Sebaliknya jika yang meninggal adalah isteri, penerima tujung adalah suami yang
diberikan tulangnya. Tujung diberikan kepada perempuan balu atau pria duda
karena “mate mangkar” atau Sari Matua, sebagai simbol duka cita dan jenis ulos
itu adalah sibolang.
Ulos Sampe Tua, adalah
ulos yang diberikan kepada suami atau isteri almarhum yang sudah Saur Matua,
tetapi tidak ditujungkan diatas kepala, melainkan diuloskan ke bahu oleh pihak
hula-hula ataupun tulang.
2.
Saur Matua adalah
seseorang yang ketika meninggal dunia dalam posisi “Titir maranak, titir
marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru”. Tetapi sebagai umat
beragama, hagabeon seperti diuraikan diatas, belum tentu dimiliki seseorang.
Artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki
atau hanya perempuan, namun sudah semuanya hot ripe dan punya cucu.
Masih seputar Saur
Matua khususnya kepada kaum bapak, predikat isteri tercinta, kawin lagi dan
punya keturunan. Kelak jika bapak tersebut meninggal dunia, lalu anak yang
ditinggalkan berstatus lajang, sang bapak menjadi Sari Matua.
3.
Mauli Bulung adalah
seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru,
marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namar-nini, sahat tu
namar-nono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya, tak
seorangpun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) (Seseorang
yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut).Dapat
diprediksi, umur yang Mauli Bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun
keatas, ditinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli
bulung sekarang ini sangat langka. Dalam tradisi adat Batak, mayat orang
yang sudah Mauli Bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan
sejajar dengan badan (tidak dilipat).
Kematian seseorang dengan status mauli
bulung, menurut adat Batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya.
Tidak ada lagi isak tangis. Mereka boleh bersyukur dan bersuka cita, berpesta
tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari,
sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi
Penyayang.
Kebudayaan dan
Seni
Tari Tor-tor
adalah tarian yang gerakannya se-irama dengan iringan musik (Margondang) yang
dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet
batak, dan lain-lain. Menurut sejarahnya tari tor-tor digunakan dalam acara
ritual yang berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan
"masuk" ke patung-patung batu (merupakan simbol dari leluhur), lalu
patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan tetapi gerakannya kaku.
Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan tangan.
Jenis tari tor-tor pun berbeda-beda, ada yang dinamakan tortor Pangurason (tari
pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih
dahulu dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari
mara bahaya dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari
tujuh cawan). Tari ini biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, tari
ini juga berasal dari 7 putri kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak
gunung pusuk buhit bersamaan dengan datangnya piso sipitu sasarung (Pisau tujuh
sarung). Kemudian tor-tor Tunggal Panaluan merupakan suatu budaya ritual.
Biasanya digelar apabila suatu desa dilanda musibah, maka tanggal panaluan
ditarikan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi
masalah tersebut. Sebab tongkat tunggal panaluan adalah perpaduan kesaktian
Debata Natolu yaitu Banua Gijjang (Dunia Atas), Banua Tonga (Dunia Tengah) dan
Banua Toru (Dunia bawah) Tor-Tor pada jaman sekarang untuk orang Batak tidak
lagi hanya diasumsikan dengan dunia roh, tetapi menjadi sebuah seni karena
Tor-Tor menjadi perangkat budaya dalam setiap kegiatan adat orang Batak.
Ulos adalah kain tenun khas suku Batak . Tak hanya sebatas hasil
kerajinan seni budaya saja, kain Ulos pun sarat dengan arti dan makna. Sebagian
besar masyarakat Tapanuli menganggap kain tenun Ulos adalah perlambang ikatan
kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang komunikasi dalam masyarakat adat
Batak. Oleh karena itu, kain tenun Ulos selalu digunakan dalam setiap upacara,
kegiatan dan berbagai acara dalam adat Suku Batak. Misalnya, untuk
perkawinan, kelahiran anak, punya rumah baru, sampai acara kematian.
Ulos Ragihotang yang digunakan dalam upacara
adat suku Batak.
Tiap-tiap kain tenun Ulos yang dihasilkan memiliki arti
dan makna tersendiri, baik bagi pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya. Misalnya
saja Ulos Ragidup. Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi derajatnya. Sebab,
pembuatannya sangatlah sulit. Kain tenun ulos jenis ini terdiri dari tiga
bagian, yaitu 2 sisi yang ditenun sekaligus, dan 1 bagian tengah yang ditenun
sendiri dengan motif yang rumit. Motif Ulos Ragidup ini harus terlihat seperti
benar-benar lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini sering diartikan sebagai
ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu untuk kebahagian dalam
kehidupan.
Lalu, ada Ulos Ragihotang. Ulos ini derajatnya 1
tingkat di bawah ulos ragidup. Pembuatannya tidak serumit Ulos Ragidup. Namun,
Ulos Ragihotang punya arti dan keistimewaan yang berhubungan dengan pekerjaan. Ulos
ini pun sering dipakai dalam upacara adat kematian sebagai pembungkus atau penutup
jenazah yang akan dikebumikan. Ulos jenis ini mengartikan bahwa pekerjaan
seseorang di dunia ini telah selesai.
Ulos Sibolang.
Selain kedua jenis ulos tersebut, ada satu jenis
ulos yang disebut Ulos Sibolang. Ulos ini digunakan
sebagai tanda jasa penghormatan. Biasanya dipakai oleh orangtua pengantin atau
diberikan oleh orangtua pengantin perempuan buat menantunya. Oleh karena itu,
Ulos Sibolang dijadikan sebagai lambang penyambutan anggota keluarga baru. Ulos
Sibolang juga diberikan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya.
Ulos ini diberikan sebagai tanda menghormati jasanya yang telah menjadi istri
yang baik, sekaligus sebagai tanda bahwa ia telah menjadi janda.
Gordang adalah gendang yang paling
besar yang terdapat pada masyarakat Batak Toba, yaitu gendang yang diletakkan
pada sebelah kanan pemain di rak gendang tersebut.
Gordang ini biasanya
dimainkan oleh satu orang pemain dengan menggunakan dua buah stik. Gordang adalah
merupakan bagian dari gendang yang lain (taganing). Gordang ini terbuat
dari kayu nangka yang dilobangi bagian dalamnya, kemudian ditutuip dengan kulit
lembu pada sisi atas, dan sisi bawah sebagai pasak untuk mengencangkan tali
(lacing) yang terbuat dari rotan (rattan). Bagian yang dipukul dari gendang ini
bukan hanya bagian membrannya, tetapi juga bagian sisinya untuk menghasilkan
ritem tertentu secara berulang-ulang. Ritemnya lebih bersifat konstan.
Rumah Bolon adalah
rumah adat tradisional adat batak yang berbentuk panggung dengan bahan utama
bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya
yang melengkung dan runcing di tiap ujungnya.
referensi : google.com
Komentar
Posting Komentar